Banjir di Semarang |
Semarang kaline banjir
Jo sumelang rak dipikir
Jangkrik upo sobo ning tonggo
Melumpat ning tengah jogan...
Siapa yang tidak
kenal dengan penggalan lagu diatas. Alunan musik khas campursari begitu kental
terasa. Iya, penggalan lagu “Jangkrik Genggong” yang didendangkan secara
legendaris oleh Waljinah ini begitu terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Pun
dengan saya. Sebagai anak yang lahir dan besar di tanah Jawa, lagu ini tentu
saja begitu akrab di telinga sejak kecil. Semarang
ki yo mesti banjir kaline, Semarang identik dengan banjir. Begitulah
imajinasi masa kecil saya tentang Semarang.
Sampai sekitar 20 tahun kemudian, takdir membawa saya
menginjakkan kaki untuk pertama kali di kota Semarang. Ternyata apa yang digambarkan oleh lagu diatas
bukanlah isapan jempol belaka. Saya mengalami sendiri betapa mengagetkannya
banjir terutama di kawasan pesisir Semarang. Bahkan untuk kembali dari kantor
auditee di wilayah pelabuhan Tanjung Emas, kami harus naik becak. Genangan banjirnya terlalu tinggi untuk dilewati mobil. Yah, mirip-mirip sama gambar di atas lah kira-kira. hehe
Semarang yang merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah
terletak di pesisir utara pulau Jawa. Kota Semarang memang memiliki kontur yang
menarik. Wilayah Kota Semarang berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan
348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut). Secara topografi terdiri atas
daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan, sehingga memiliki wilayah yang
disebut sebagai kota bawah dan kota atas.
Sebagaimana kota pesisir pada umumnya, wilayah
Semarang terbentuk dari endapan aluvial. Adapun karakteristik dari endapan
aluvial ini adalah tanahnya masih mengalami proses konsolidasi. Proses
konsolidasi ini mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah pada daerah
tersebut. Hal ini yang menyebabkan setiap tahun Semarang dilanda banjir rob.
Sebenarnya bahaya banjir rob ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Semenjak zaman penjajahan, pemerintah kolonial Belanda sudah mengantisipasi
banjir rob ini dengan membangun kanal dan polder. Salah satunya yang kita kenal
sebagai polder di depan stasiun Tawang.
Polder Tawang ini terutama ditujukan untuk
menyelamatkan kawasan Kota Lama Semarang. Kanal-kanal yang dibangun di sekitar
kota lama berfungsi sebagai sistem drainase yang akan mengalirkan air banjir
dan rob di kawasan Kota Lama, memompanya kemudian mengalirkannya kembali ke
lautan.
Lain polder di kawasan kota lama, lain pula
pembangunan Banjir kanal Barat. Banjir kanal barat ini ditujukan untuk
mengatasi banjir yang diakibatkan oleh curah hujan. Hal yang perlu dilanjutkan
adalah mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan kanal dan polder di wilayah
Semarang. Penggunaan juga sepaket dengan perawatan tentu saja. Pengerukan dan
pembersihan secara berkala, sehingga kelak ketika musim hujan tiba polder dan
kanal tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.
Selain polder, pengembangan hutan mangrove di kawasan
pesisir juga perlu perhatian lebih serius. Akan sangat baik apabila ditangani
secara bersama antara pemerintah kota, pihak swasta dan merangkul masyarakat. Tidak
dapat dinafikan bahwa peran hutan mangrove sangat penting bagi kawasan pesisir.
Mangrove dapat mengurangi abrasi dan erosi pantai akibat
air laut. Fungsi selanjutnya adalah akar-akar bakau yang mampu mengendapkan
lumpur sehingga mencegah intrusi atau merembesnya air laut ke darat. Perembesan
ini dapat mengakibatkan berubahnya air daratan menjadi payau sehingga tidak
cocok untuk dikonsumsi. Akar tersebut juga dapat mempercepat penguraian limbah
organik yang terbawa ke wilayah pantai. Selain pengurai limbah organik, hutan
mangrove juga dapat membantu mempercepat proses penguraian bahan kimia yang
mencemari laut seperti minyak dan deterjen, serta merupakan penghalang alami
terhadap angin laut yang kencang pada musim tertentu.
Hutan Mangrove juga merupakan tempat tinggal yang cocok
bagi banyak hewan mulai biawak, kura-kura, monyet, burung, ular, sampai beberapa
jenis hewan laut seperti ikan, udang, kepiting dan siput. Hutan mangrove
seringkali dikatakan pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya
menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove
memperluas batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup
dan berkembang di wilayah daratan.
Manfaat lainnya adalah pengembangan kawasan mangrove
sebagai kawasan ecowisata. Menambah kawasan terbuka hijau yang dapat dijadikan
sebagai tujuan wisata sekaligus sarana belajar bagi masyarakat kota Semarang
dan sekitarnya.
Penyebab banjir rob, yaitu penurunan tanah juga
adalah permasalahan tersendiri di kawasan pesisir pantai. Selain karena
penurunan tanah adalah inherent risk
dari wilayah pesisir, hal ini diperparah juga oleh penggunaan air tanah yang
kurang bijak. Kawasan pesisir utara Semarang didominasi oleh wilayah industri
dan pergudangan Tanjung Emas. Pemerintah kota bekerja sama dengan pihak BUMN
dan swasta harus menyadari dan bekerja sama demi mengatasi permasalahan ini.
Pemerintah kota perlu menekankan pengaturan yang lebih baik terkait dengan penggunaan
air tanah dan wilayah hijau sebagai bantuan resapan air di kawasan industri.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari kawasan pesisir
Semarang adalah permasalahan pemukiman. Peningkatan
jumlah penduduk dan aktivitas di daerah pesisir mendorong adanya reklamasi
pantai untuk pemukiman dan industri misalnya. Merambahnya pembangunan ke
wilayah pesisir menyebabkan adanya “pemaksaan”, dalam hal ini terkait dengan
adanya pemanfaatan ruang yang tidak seharusnya ada tetapi dipaksakan ada, dan
akhirnya berdampak pada terganggunya keberlanjutan pembangunan dan timbulnya
penyimpangan pemanfaatan ruang. Namun sampai saat ini belum ada peraturan atau
kebijakan tegas yang mengatur tentang pengendalian pemanfaatan ruang pada
wilayah pesisir, padahal akibat yang dirasakan dari rusaknya wilayah pesisir
baik fisik ataupun sumberdayanya sudah cukup jelas. Perubahan penggunaan lahan
di wilayah pantai yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah
berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya.
Pemerintah kota Semarang tidak perlu sampai menggusur
pemukiman penduduk di kawasan pesisir yang telah ada. Hal yang perlu dilakukan
adalah membatasi dan mengatur keberadaan mereka, serta sekaligus merangkul
penduduk yang bermukim di pesisir untuk ikut merasa memiliki dan bertanggung
jawab terhadap penggunaan lahan wilayah pesisir. Kesadaran mereka terkait sanitasi
dan sampah, misalnya. Pihak-pihak terkait perlu memberikan banyak pengertian
dan contoh cara menjaga lingkungan pesisir di sekitar tempat tinggal mereka. Karena
dengan terkendalinya sistem pembuangan sampah dan sanitasi juga berpengaruh
positif bagi kelestarian alam wilayah pesisir.
Perjalanan menuju Semarang Tangguh memang masih sangat
panjang. Perjuangan ini tidak pernah berhasil apabila tidak didukung oleh
seluruh stakeholder kota Semarang,
baik dari pemerintah kota, pemerintah propinsi, pihak swasta, LSM hingga
masyarakat secara umum. Kesadaran akan kebutuhan kota Semarang yang lebih
manusiawi, lebih tertata dan lebih teratur sudah selayaknya ditanamkan menjadi
kebutuhan bagi seluruh pihak yang mencintai Semarang.
Kemudian terbayang di benak saya di masa mendatang
ketika Semarang telah menjelma menjadi kota yang bersih, cantik dan teratur. Kawasan
pesisir bukan lagi identik dengan banjir dan kumuh, namun telah menjadi kawasan
hijau terbuka yang asri dan bersih. Kanal-kanal dan polder yang ada di Semarang
telah diatur dengan baik, kanal dan polder tersebut dapat menjadi ikon kota
Semarang. Berwisata kano dan sampan di sepanjang kanal atau polder seperti yang
selama ini kita lihat di Belanda atau Venesia, menjadi bukan hal yang mustahil
ada di Semarang, Venice van Java!
Salam, Semarang Tangguh!
Sumber:
http://geodesi.undip.ac.id/gis/download_penunjang.php?id=1
Maiyudi, Riko. Studi
Penyebab dan Identifikasi Dampak Penurunan Tanah di Wilayah Semarang. Tugas
Akhir. Bandung: 2012
http://earthhour.wwf.or.id/5-manfaat-hutan-mangrove-untuk-manusia/
Bappeda.semarangkota.go.id
http://tarilembayung.blogspot.co.id/2013/05/fenomena-rob-di-semarang-dalam.html
https://auliarizqiabidi.files.wordpress.com/2012/05/5-35.jpg
Comments
Post a Comment