Virus Merah Saga

VIRUS MERAH JAMBU

Aku tidak tau sejak kapan aku merasakan perasaan ini. Tapi yang jelas, bayang-bayangnya mulai meloncat-loncat dalam pikiranku dan sulit untuk dikendalikan. Buktinya, saat kuliah tadi, semua apa yang dikatakan Pak Deni tak ada satupun yang kudengar. Padahal itu mata kuliah favoritku. Sampai-sampai kena teguran. Kan malu, ketahuan ngelamun di kelas. Gini-gini aku kan termasuk mahasiswa teladan.
Phufh…kepalaku kembali berdenyut. Ada janji sama anak BEM buat ngadain rapat pembahasan Sekolah Politik. Harus cepetan kesana sebelum Mbak Ulil si coordinator nyap-nyap!!
“Assalamualaikum Ukhti, jangan lupa nanti sore setengah empat ada kajian di masjid!”
Tersentak kaget, aku mendongak. Dia lagi! Duh,,Allah.. Seharusnya perasaan ini tidak perlu ada. Seharusnya namanya tidak terus-menerus menggaung di otakku, seharusnya…
Astaghfirullah, saking paniknya aku tidak sempat menjawab infonya, bahkan sekedar menjawab salamnya. “Alaykumsalam, insya Allah” kujawab dalam hati. Akhirnya.
Sudut mataku mengekor bayangan itu. Dia melangkah kearah parkir motor.

Kulanjutkan langkahku menuju markas BEM di samping kampus FISIP, dekat. Cuma 5 menit perjalanan dari kampusku, FE.
“ Deu neng geulis dari mana aja??uda ditunggu dari tadi, lelet amat!” sambut Mbak Reti, akhwat Depok yang terkenal ceplas ceplos itu.
“Iya nich, gak nyadar kita janjiannya jam 12.30 ??“ Sambung Fira. “ Si Haikal jam 2 ada kuliah tuh!”
“ Afwan, tadi dosenku Pak Deni, tau kan beliau gimana? On time bu!” kataku meredam omelan mereka yang bisa-bisa lebih panjang dari rapatnya.
“ Mbak Ulil mana? Kita jadi rapat kan??”
“Tadi mbak Ulil uda datang, cuman gara-gara kamu datengnya lama, doi balik ke Rumah Sakit, cumin nitip pesen aja!” Mbak Ulil memang tahun ini masuk Rumah Sakit, maksudnya mulai ambil DM, Dokter Muda. Mahasiswa Kedokteran.
Aku cuma manggut-manggut. Ops, Salahku.
“Oke, mbak-mas, semua udah kumpul kan? Kita mulai aja yuk, rapatnya. Posisi pindah ke taman samping ya…” ujar Syaiful, anak Sospol.
“Kalian duluan ya!! Aku masih ngetik draft anggaran buat nanti sore dikumpulin ke Rektorat!” teriak Wawan, sang Menteri Sospol. Kebiasaan SKS dibawa-bawa tu anak. Pantes gak lulus-lulus. Bukan apa-apa, tahun ini tahun kelima kuliahnya di FH.
-------------------------------******************--------------------------------
“Dek, anti ada waktu nggak?? Mbak pengen ngomong bentar.” Suara lembut mbak Ulfa membuyarkan konsentrasiku merapikan dokumen-dokumen sisa rapat tadi siang. Deu, beberes aja pake konsentrasi!!
“ Mmm…bisa kok mbak emang mau ngomong apa?” tanyaku berbarengan dengan adzan maghrib yang terdengar dari masjid kampus.
“ Nanti aja deh, kita ke masjid bareng yuk! Anti sholat kan?”ajaknya.
Kuanggukkan kepalaku dan bergegas mengikutinya menuju Masjid kampus kami yang asri, sangat berbeda dengan suasana sekitarnya, panas. Sepanjang jalan, pikiranku sibuk memikirkan apa yang kira-kiara akan ditanyakan oleh mbak Ulfa. Ocehan Fira yang sedari tadi mengajakku bercanda tak kugubris sama sekali. Semoga tidak seperti yang aku bayangkan….
Seusai sholat, mbak Ulfa kembali mendatangiku. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku keras membuat perhatianku mau tidak mau tercurah padanya.
“Lita kan?!! Ya ampuuuu..nn, Lita!! Aku Sarah! Masih ingat kan?! Temen es-em-pe…….”
Gelagapan tidak siap menghadapi pertemuan dengan Sarah, sahabat kentalku dari es-em-pe, aku hanya bias mengeluarkan gumaman-gumaman tak jelas
“Eh, Sarah iya..em baik anu kaget,um em, kamu em um ngapain??”
“Ya ngasih kejutan ke kamu lah…”tukasnya dengan mata berbinar. Sarah tetap begitu ceria dan menyenangkan. Sohibku yang satu ini memang melanjutkan es-em-a dan kuliah ke luar kota. Jakarta. Cita-citanya menjadi dosen mengantarkannya menimba ilmu di kampus biru Universitas Indonesia.
“Pipimu tambah chubby aja Ta!”, ucapnya. Cuma Sarah yang memanggilku dengan dengan panggilan itu.
“Masih mending, daripada tinggal tulang dibalut kulit kayak kamu! Hahaha….emang biaya hidup di Jakarta mahal banget ya, sampai nggak kuat makan 3 kali sehari!” tukasku.
“Iyo lho, dibandingin Surabaya, biaya di Jakarta iku semuanya serba tak terjangkau olehku!” Logat Suroboyoan-nya masih sangat kental. Juga dengan berseloroh. Ayahnya yang seorang dokter spesialis pasti mampu membiayai anak itu.
Sampai setengah jam kemudian aku masih disibukkan dengan reuni mendadak antara aku dan Sarah. Dalam hati aku bersyukur, Sarah menyelamatkanku. Dengan tawaran Sarah untuk pulang bersamanya semakin membuatku tidak ada alasan untuk tetap bertahan di masjid kampus yang sudah mulai gelap. Setelah berpamitan seperlunya pada Fira dan diiringi tatapan penuh arti dari mbak Ulfa, aku benar-benar meninggalkan mereka senja itu. Juga sejenak melupakan beban yang diam-diam menyusup dalam hati dan pikiranku hampir dua bulan ini. Aku merasa bersalah.
-------------------------------------**********------------------------------------
“Lita!! Mau kemana? Perpus kan?! Bareng ya…!!”
Aku menoleh dan tampak seorang gadis dengan jilbab hijau berlari-lari kecil kearahku. Dia Reren, teman sefakultasku. Kami lumayan dekat, meski tidak dapat dikatakan dia yang paling akrab denganku. Aku merasa kadang gadis berkacamata itu menjaga jarak, tapi kadang dia menjadi mendadak sok akrab padaku, entahlah.
“Eh Lit, tau nggak, tadi kamu dicariin lo sama mas Gustav! Kayaknya dia kangen tuh sama kamu.”
Deg!! Aku tidak bisa berbohong kalau aku sebenarnya juga sedang berharap bertemu dengannya. Sekedar melihat sekilas padanya atau mendengarkan salamnya yang lembut dan hangat. Kan..aku membayangkan seraut wajah teduh itu lagi. Duh.. Allah…tolong…
“Hoi!! Diajak ngomong kok malah bengong. Kangen juga kan sama mas Gustav? Udah, ngaku aja kali!!” tebaknya kejam. Tepat sasaran.
“Hush!! Ngomong apa sih kamu! Akhwat kok ngomongnya gitu. Gak baik tau ngegodain saudaranya dengan becandaan kayak gitu” ujarku pura-pura sewot. Padahal hatiku deg-deg plasss…KBM nih!
“Aku nggak mau bahas itu lagi, kalo kamu tetep nekad, kutinggal kamu sendirian di perpus!” ancamku padanya. Reren yang super penakut itu pun mengkeret dan diam.menurut. Hehehe, manjur juga senjataku padanya.
Selama hampir empat jam kami browsing bahan-bahan dan membahas tugas paper yang harus dikumpulkan minggu depan. Karena kebetulan kami mendapatkan tema yang sama, pembahasan bersama Reren sangat banyak membantuku. Saat Reren pamit untuk sholat dhuhur di mushola, hape-ku berbunyi.bipip-bipip. Panggilan masuk. Ha??!! Sekali lagi kubaca nama yang berkedip-kedip di layar N-70 ku. Tetap sama. Ku eja lagi. G-U-S-T-A-V, A-K-H-I. Akhi Gustav. Mas Gustav, Reren menyebutnya. Panik kupandangi HP itu tanpa tau apa yang harus kuperbuat. Setelah dua kali missed, akhirnya kuangkat panggilan ketiga darinya.
“Halo, assalamualaikum. Ada apa ya akh?” mati-matian kutahan debar jantungku agar suaraku tidak terdengar terlalu panik. Berlebihan.
“Alaykumsalam ukh. Emm..gini, nanti sore kan ada kajian di Masjid Kampus, kajian rutin sih, trus karena coordinator akhwat yang biasa ngurusin, Ukh Irma, lagi ada kuliah tambahan, kira-kira anti mau nggak ya gantiin beliau ?”
“Ana bisa bantu apa ya akh?”
“Cuma bantu nyiapin konsumsi aja sama mobmas temen-temen yang di BEM. Nanti sore nggak ada aktivitas kan?”
“Ya, Insya Allah ana bisa. Ada lagi yang mau disampaikan?”
“Em…anu, ana minta maaf soal kecelakaan waktu itu.” Untuk kesekian kalinya dia meminta maaf.
“Gak papa kok. Itu kan sudah lama. Ana juga sudah sehat. Lagipula antum kan sudah bertanggung jawab”
“Ana masih tetap merasa bersalah”
Ingatanku kembali melayang pada sebab aku mengenalnya. Kira-kira dua bulan lalu, saat menyeberang jalanan yang ramai, tanpa sengaja aku tertabrak sebuah motor. Aku terpelanting cukup keras. Aku pingsan, langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Gegar otak ringan, lumayan membuat orang tuaku kaget. Ibuku langsung pingsan, Ayahku menuntut orang yang sembrono menabrakku itu. Dia seorang kakak tingkatku ternyata. Gustav Ramadhan. Walaupun akhirnya Gustav bertanggung jawab atas seluruh biaya ku di RS, tetap saja tidak membuat kedua orangtuaku memaafkan kejadian itu begitu saja. Perlu waktu berminggu-minggu untuk Gustav dan keluarganya meminta maaf berkali-kali pada orangtua ku. Meskipun tentu saja kecelakaan itu bukan kesalahannya.
“Jadi, ketemu di sekretariat jam 3 sore gimana ukh?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Eh..oh.. iya” ujarku tergagap, ups ketahuan deh ngelamun tadi.
“Oke, syukron katsir. Assalamualaikum”
“Alaykumsalam”. Klik. Kumatikan HP tepat saat Reren muncul dari balik rak buku-buku.
“Siapa? Mas Gustav? “ tanyanya dengan seringai dan tatapan penuh arti siap mengeluarkan jurus-jurus godaan mautnya. Tapi, demi melihat aku mendelik marah, bibirnya mengatup dan tidak menyinggung apapun tentang ikhwan itu lagi.

“Amma yata sta aluuun….. Aninnaba’il adzim….Alladzinahum fiihi mukhtalifuuun…” Ups…sayup-sayup kudengar suara hangat nan lembut itu mengalunkan An-Naba’ dari balik hijab rotan masjid kampus kami yang tidak luas. Sebenarnya aku sadar ini tidak sehat, aku harus mengakhirinya. Tapi, sisi lain dari hatiku juga bergolak, seperti tidak rela. Apa yang harus diakhiri pada saat tidak ada yang kumulai??
“Assalamu alaikum ukh, tumben anti disini? Biasanya kongkow di BEM, ato ke perpus?” ujar Nia sambil menyalami dan cipika-cipiki padaku. Kongkow, gak ada istilah yang lebih educated apa??
“Alaykumsalam. Emang ada aturan baru ya anak BEM yang mampir kesini harus registrasi gitu?” aku rada gondok.
“Ya enggak lah ukh..Cuma becanda aja. Lagi sensi ta? Biasanya anti bales becandain...” kasian Nia jadi merasa bersalah gitu.
“Afwan, emang rada sensi, PMS kali ya” aku mencoba tersenyum seperti biasa. Memang, sejak aku merasa aneh, aku sering tiba-tiba bahagia atau mendadak uring-uringan nggak jelas. Sejurus kemudian, Nia menekuni jurnal-jurnal pemasukan dan pengeluaran bulan ini. Sepertinya ada masalah, keningnya berkerut-kerut. Maklum bendahara rohis. Aku tersenyum berniat melanjutkan lamunanku. Sebelum,
“Dek..” tepukan lembut itu begitu khas..Mbak Ulfa! Orang yang akhir-akhir ini tanpa sadar aku hindari.
“Eh, mbak Ulfa, ngapain mbak disini?” pertanyaanku tidak salah. Mbak Ulfa kan akhwat FIB, jauh banget dari kampusku.
“Tadi mbak ke Bank Muamalat, trus mampir kesini mau cari dek Reren, mau ngembaliin ini.” Dijulurkannya biografi Barrack Obama,itu lho, presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Hem...Reren banget. “ Mbak nitip ke anti aja gimana? Boleh ya?!” lanjutnya. Aku mengangguk.
“Dek, kita makan siang yuk, belum makan kan? Mbak yang traktir deh!” tumben mbak Ulfa nyerocos. Aku mengangguk lagi. Kami berjalan beriringan menuju kantin Dharma Wanita. Lumayan sepi, belum waktunya makan siang. Coba sejam lagi. Pasti tidak ada meja kosong yang tersisa. DarWan memang kantin favorit warga FE. Tempatnya nyaman, makanannyapun enak. Apalagi harganya, cocok banget untuk kantong mahasiswa.
“Dek, ada yang pengen dibagi nggak sama mbak..” mbak Ulfa memulai pembicaraan yang sebenarnya sangat tidak ingin sekaligus sangat ingin kubahas. Aku tepekur. Kumainkan sedotan dalam gelas es teh ku.
“Mbak pengen anti sendiri yang cerita…” Aku mendongakkan wajah, berharap menemukan mata keras, menahan amarah. Tapi, yang kutemukan justru sebentuk mata bening yang sangat lembut. Samasekali tidak ada sorot menghakimi. Duh, Allah..menghadapi hambaMu saja aku takut, apalagi menghadapiMu….Aku masih membisu, semakin diam. Semenit berlalu tanpa suara dari kami berdua. Aku semakin tersisksa atas kebekuan ini. Aku terpojok oleh perasaanku sendiri.
“Kalau anti belum pengen cerita, mungkin lain kali saja, tapi jangan lupa ya dek, hidayah itu mahal. Tidak semua orang bisa mendapatkannya..” Ujarnya akhirnya. Mataku memanas..ada berliter-liter cairan yang siap tumpah.
“Mbak, afwan………………….” Aku sudah tidak kuat lagi menahan genangan yang sedari tadi bergelung di kelopak mataku. Pecah bersama luapan ceritaku. Ya, akhirnya aku menceritakan semuanya. Semuanya. Bagaimana kami bertemu, bagaimana perasaanku, bagaimana hatiku merindu redam suara dan wajahnya, bagaimana kurindu perhatiannya, juga perasaan-perasaan sentimental yang ternyata sudah menjajah hatiku begitu dalam. Juga tentang perasaanku yang terus dikejar rasa bersalah. Aku malu. Pada mbak Ulfa, mbak Reti, Fira, Reren, Nia, adek-adek binaanku, teman-temanku, obyek dakwahku, terutama aku malu pada Allah. Aku berbohong pada mereka semua, pada diriku terutama. Aku mencurahkan semuanya.
Ya, di sujud panjang di sepertga malam ini, aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Aku memang tidak mengucap sepatah katapun pada mbak Ulfa, tapi pertemuan tadi siang cukup menyadarkanku bahwa mbak Ulfa benar, bahwa hidayah Allah itu mahal, sangat mahal. Aku sudah sangat bersusah payah untuk mendapatkannya. Dan yang aku tahu, aku harus mempertahankannya.

Comments