Lokomotif di depan PG |
Saya bersorak riang begitu
tau kalo saya masuk tim Kebon. Tim yang bertugas mengaudit BUMN perkebunan.
Saat itu saya sudah nyaris memfosil karena kelamaan nugas di hotel ***** yang
ada di seberangnya Rawon Setan. Begitu dapet tawaran nugas ke kebon, tanpa
pikir panjang saya langsung bilang: IYA!
Lumayan banget yah, bisa halan-halan herates ke luar kota selama
2 minggu. Saya sih sudah super eneg sama Surabaya. Butuh menghirup udara segar.
Butuh ngeliat gunung dan pantai. Butuh nyeburin kaki di air bareng sama ikan-ikan.
Butuh nyemplung laut. Butuh mainan pasir. Mbaknya
butuh liburan? Bangeeeettt..!
Tapi kan ini penugasan? Iya sih,
tapi bodo ah. Saya cuma butuh melepaskan diri dari rutinitas di Surabaya. Saya
mau jalan-jalan ke luar kota. Apapun alasannya.
Artdeco Dimana-mana
Wow!
Saya melongo. Mata saya
berbinar-binar. Memasuki kompleks perumahan pegawai pabrik gula yang khas.
Rumah-rumah dengan halaman yang luas, pilar-pilar di teras depan, pohon
beringin dan trembesi yang kokoh menghiasi halaman. Mendadak saya
bermetamorfosis menjadi nonik Belanda. Nonik Belanda cantik berkereta kuda,
dengan gaun princess mengembang dan sepatu Cinderella.
“ Mbak, ini semua kopernya di bawa
masuk juga?!” Teriak seorang pria paruh baya di belakang.
Duh!
Teriakan yang mengubah wujud
nonik belanda yang cantik balik lagi jadi upik abu. Kembali dengan jeans dan
kets buluk lengkap dengan blus sebawah lutut dan ransel kura-kura ninja yang
menemani semenjak dari Surabaya tadi subuh. Ngga asik banget sih pak supir. Saya kan lagi seru ngayalnya. Saya
kan blom ketemu sama mas sinyo ganteng yang nungguin di balik pintu. Ya kan? *Ngarep..-__-‘
Saya yang sudah sehat walafiat dan
sudah kembali ke alam kesadaran, manyun sambil menggeret koper besar dan berat
berisi odner-odner audit tahun lalu. Tapi manyun saya tidak bertahan lama.
Pesona bangunan kolonial di depan mata ini terlalu indah untuk dilewatkan
begitu saja.
Saya masih mengagumi bentuk
bangunan megah bergaya artdeco ini dengan seksama dan memegangi salah satu
pilar besarnya ketika seseorang membuka pintu depan.
Yah… saya kecewa.
Bukan mas sinyo ganteng ternyata!
Melainkan seorang penjaga rumah
yang ramah memamerkan senyum bersahajanya dan mempersilakan kami masuk.
Dari dalam rumah saya makin
mendalami bentuk bangunan rumah tinggal ini. Ruangan tamu yang cukup luas,
dengan perabot khas tempo dulu. Meski bukan dari jaman Belanda juga sih. Tapi
bangunan utama dari rumah ini masih mempertahankan ciri-ciri bangunan aslinya.
Dindingnya yang tebal dan kokoh, kusen pintu dan jendela yang didesain tinggi
dan lebar, kaca hias dengan berbagai ornamen permainan warna, juga warna cat
rumahnya. Bahkan di kamar yang disediakan untuk kami yang ekstra luas, saya
bisa dengan leluasa duduk di dinding tebal tempat kusen jendela dipasang
rendah. Menikmati hujan sambil duduk-duduk dikusen ini kayaknya asik juga.
Galau-galau-syahdu-mendayu gitu deh yaa.. :p
Contoh rumah mess pegawai PG |
Bangunan rumah ini terdiri dari
bangunan utama atau bangunan induk, tempat kamar kami, ruang tamu dan ruang
makan. Disambung dengan selasar yang dikelilingi dapur, kamar-kamar yang lain,
dan ruang setrika. Ditengah ada taman tengah yang cukup asri dan kamar mandi
luar. Meskipun ada kamar mandi luar, masing-masing kamar juga sudah disediakan
kamar mandi dalam. Di bagian belakang rumah ada berjejer-jejer kamar tidur
penjaga dan tempat cuci dan jemur. Juga halaman luas dengan pohon mangga dan trembesi
yang rindang. Rumah ini cukup mewakili gambaran standar fasilitas para pegawai
golongan atas di pabrik gula di masa pendudukan kolonial. Fasilitas yang tentu
jauh lebih mewah jika dibandingkan dengan kebanyakan rakyat jelata di masa itu.
Sudut bangunan cantik yang sayangnya kurang terawat |
1890.
Angka tahun ini ada di bagian atas
sisi depan bangunan kantor di Pabrik Gula (PG) Redjosarie di kawasan Magetan Jawa
Timur. Menurut keterangan dokumen perusahaan, pabrik ini dibangun di tahun
tersebut, 1890.
Gilak! 124 tahun. Dan masih kokoh!
Ada beberapa bangunan yang memang
sudah mengalami renovasi di sana-sini, namun tetap tidak mengubah bangunan asli
yang sudah ada sejak jaman Belanda. Saya kagum lho sama bangunan-bangunan jaman
dulu gitu. Betapa awet dan kokohnya mereka. Apa coba alasannya? Semen yang
lebih berkualitas kah? Batu bata yang lebih kuat, atau justru ahli konstruksinya
yang juwara?
Selain di rumah dinas, kesan art
deco yang kuat justru lebih banyak ada di bangunan PG. Selain bangunan kantor,
bangunan pabrik tempat pengolahan juga tidak kalah eksotis. Tetap dengan ciri
khas bangunan yang tinggi dan kuat. Dengan kusen-kusen gaya lengkung yang khas.
Meskipun bangunan itu adalah gudang pupuk sekalipun. Teteup, eksotis! Me like it!!!
Ada satu lagi yang sangat saya
suka setiap kali plant tour keliling PG. Kereta uap dan lori. Kereta dan lori
memang tidak bisa dipisahkan dari PG. Pada masa kolonial, kereta dan lori
digunakan sebagai alat transportasi utama yang selain dipakai untuk mengangkut
tumpukan tebu juga untuk meninjau dan memantau ladang atau sawah milih pabrik
atau milik rakyat. Namun saat ini, kereta dan lori sudah banyak yang digantikan
dengan alat transportasi lain yang lebih ekonomis dan efisien, truk dan mobil
bak terbuka lain misalnya. Untungnya, meskipun sudah bukan menjadi moda
pengangkutan utama, lokomotif dan kereta lori ini masih dipakai di sekitar
lokasi pabrik. Dilestarikan dong..
Biasanya loko dan lori ini dipakai
untuk mengangkut antrian tebu yang sudah ditimbang dan masuk ke kawasan pabrik.
Antri untuk masuk ke penggilingan. Minta digiling!
Potongan kucel tapi bahagia. Habis plant tour. |
Bangunan-bangunan itu, lokomotif
kereta uap, dan semua-semua yang ada di pabrik gula seolah membetot seluruh
perhatian saya, melemparkan saya pada ratusan tahun yang lalu, saat dimana
pabrik gula menjadi roda penggerak utama perekonomian. Saat dimana para
penguasa gula itu menjadi raja kecil dengan wilayah kekuasaan berbanding lurus
dengan luas ladang tebu yang dimilikinya. Saya seperti melihat pabrik gula
tempat Sanikem menghabiskan masa mudanya menjadi gundik Tuan Malemma. Pabrik
Gula dan semua bangunan art deco yang mengelilinginya benar-benar membuat saya
tersedot ke dalam Bumi Manusia milik Pram. Terjebak disana. Namun anehnya, saya
menikmatinya.
Dari Kebun Bibit sampai Gudang Gula
Tebu yang diproses di pabrik gula
ternyata bukan semata-mata milik dari PG itu lho. Tebu itu terdiri dari Tebu
Sendiri (TS) dan Tebu Rakyat (TR). Tebu Rakyat adalah tebu yang dibeli pihak PG
saat tebu sudah siap panen. Sedangkan tebu sendiri, adalah tebu yang ditanam di
kebun milik PG. Dirawat dari kecil dengan penuh kasih sayang, seperti anak
sendiri. Namanya Malika. *kok jadi kayak iklan:p
Tebu yang sudah siap olah, yang
sudah ditebang segera dibersihkan dari kulit-kulit kasar yang menempel di
batangnya. Jangan bayangin bersihinnya
pake sabit atau parang yah, pake mesin lho..!
Bekas jalur lori |
Tebu tersebut lalu masuk ke
stasiun gilingan. Ada takaran tertentu untuk jumlah tebu yang masuk ke mesin
giling. Tentu saja disesuaikan dengan kapasitas mesin gilingnya. Tebu yang
sudah digiling akan menghasilkan cairan manis yang disebut sebagai nira. Cairan
inilah yang akan diolah di stasiun pemurnian nira. Nira yang sudah siap diolah
akan dimasak di tanur besar dengan suhu yang tinggi. Proses memasak nira ini
ada di stasiun masakan. Nira yang sudah masak mengalami proses kristalisasi.
Hasil dari proses kristalisasi ini adalah gula pasir seperti yang sering kita
temui, namun dengan bentuk yang lebih lengket dan berair. Dan, ngana jangan sekali-sekali mencoba nyolek pake tangan yak. Panas
bok!
suasana di stasiun masakan |
Gula yang masih berair itu
mengalami proses yang berulang lagi dari awal sampai menghasilkan jenis gula
yang kering dan kepyar sempurna. Gula yang kering dan tidak menggumpal adalah
kriteria hasil produksi gula yang baik. Rasanya? Maniiissss kayak saya.
Di proses bagian ini gula sudah sudah siap dikemas. Sudah bisa juga diicip kalo
ada yang pengen ngincip. Saya yang bolak
balik nyolek icip-icip sampe mau dibawain kopi dan air panas. Sayangnya Cuma
becanda doang, padahal saya sudah mau lho diseriusin. Ah, lagi-lagi, PHP! :’(
numpang nampang boleh ya.. |
Namapun pabrik gula yah, pasti
produk utamanya gula. Tappi.. selain gula ada lagi lho produk lainnya. Pernah
denger tetes tebu? Yup. Dialah bahan utama pembuatan vetsin dan alkohol. Tetes
adalah by product dari pabrik gula.
Bentuknya tetes tebu kayak apaan sih? Coba tebaak… !?
Seindah tetes embun di pucuk-pucuk daun saat pagi menjelang.
Begitu? Sama! Saya juga mikir dan
ngebayanginnya gitu.
Tapi ternyataaaaa, SALAH
sodara-sodara!
Jauuuuuuhhh banget. Sejauh saya
dan dirinya. Saya di Surabaya dan dia di masa lalu *halah….-__-“
Tetes yang ini bentuknya kayak
pasta, warnanya cokelat kehitaman, kental dan pekat. Bau nya manis dan gurih.
Kayak bau kecap. Rasanya? Hehehe, saya ga tega ngincipnya:D
Tetes embun, eh tebu |
Tetes tebu biasanya disimpan di
tangki tetes yang tinggi besar mirip dengan tangki bahan bakar. Selain di
tangki, ada beberapa PG yang menyediakan kolam penampungan tangki yang biasa
disebut sebagai jedhingan.
tangki tetes |
Kolam
penampungan ini dipakai saat kapasitas tangki sudah tidak mampu menampung
tetes. Produksi tetes meningkat seiring dengan jumlah tebu yang digiling pada
setiap musim gilingnya.
Lain tetes tebu, lain lagi dengan blotong. Apalagi itu? Kotoran sapi?
Bukan! Meski nama dan bentuknya mirip sih.. Blotong adalah limbah padat pabrik
gula. Warnanya hitam dan berbau busuk. Meskipun begitu, jangan dikira blotong
ini akan dicampakkan begitu saja. Blotong sering jadi bahan rebutan warga
sekitar PG untuk dijadikan pupuk untuk sawah atau ladang. Blotong juga bisa
dipakai sebagai media tanam jamur buatan. Bahkan blotong yang kering bisa
diolah menjadi briket blotong untuk bahan bakar rumah tangga maupun industri.
Keren kan si Blo?!
So, never judge a girl by her smell! #eh
Intangible Asset (asset tak berwujud)
“Ati-ati yah, kalo nugas ke
Purwodadi, jangan suka ngeliatin lukisan yang di ruang tamu. Itu ada penghuninya..”
“Kalo kamu ke Pagottan, jangan mau
dikasih kamar no 2. Itu paling ‘panas’. Pokoknya minta pindah aja..”
“Anak cewek sih nggak mungkin
dikasih tugas ke wilayah tengah. Apalagi Olean. Disitu itu tempat ngumpulnya.
Pusat yang paling sangar..”
“Kamu mau nugas ke Kebon yah, Flo?
Udah apal ayat kursi kan?..”
“Udah packing? Jangan sampe lupa
bawa Al Qur’an!..”
Pesan-pesan para senior itu
berjejal-jejal masuk ke otak saya pas saya yang waktu itu masih junior baru yang
polos, imut dan unyu-unyu mau berangkat untuk pertama kalinya nugas ke
kebon. Heboh bener.
Sudah menjadi rahasia umum kalo
nugas di kebon memang anak-anak auditor suka diliatin hal-hal yang aneh. Mulai
dari diajak kenalan bule siang-siang. Padahal lagi ga ada tamu bule yang datang
ke pabrik. Semacam gempa lokal yang cuma kejadian di kamar tertentu. Ketemu
mbok-mbok emban berkemben lagi jalan di selasar lorong. Sampe penjaga rumah
yang suka nongkrong di bawah pohon di belakang rumah. Eh, pas ditanyain
ternyata sosok aslinya lagi tidur kemulan sarung di kamarnya. Hiiiyyyy…..
Intangible asset yang ini sering banget
dibahas sama anak-anak. Apalagi kalo yang baru pertama kali nugas ke kebon,
pasti obrolan tentang yang satu ini jadi pokok bahasan utama. Finding mah urusan belakangan. Eh, tapi
ini kan juga termasuk finding.
Hohoho:D
Apapun sih, mereka kan memang juga
makhluk Allah. Kita yakin mereka ada. Mereka juga punya dunia dan alam sendiri.
Selama kita nggak mengusik mereka, mereka juga nggak akan mengusik kita. Biarin
aja, cuekin aja.
Trus, pernahkah saya ketemu
kejadian-kejadian aneh? Alhamdulillah, pernah. Huhuhu :(
Jadi kami berempat sedang audit di
sebuah PG di wilayah Madiun. Kami menempati rumah dinas hanya berempat. Dua cewe
tidur di kamar depan. Dua cowo tidur di kamar belakang. Sekitar pukul 3 pagi saya
kebangun. Saya ngelirik ranjang sebelah tempat temen saya, lagi pules tidur.
Saya mau bangun buat wudhu, tiba-tiba ….. BRAAAAAKKKK…..!
Refleks saya nengok, saya pikir
pintu kamar kebuka, karena emang ga dikunci dan dua cowo yang dibelakang itu
isengnya ga ketulungan. Ternyata nggak. Yang kebuka adalah… pintu lemari!
Padahal siangnya pas saya mau
ambil mukena, pintu lemarinya berat. Rasanya nggak mungkin kalo kebuka karena
ketiup angin. Lagian angin darimana coba? Pintu jendela ketutup semua.
Whaaaaa….. saya buru-buru nyungsep ke selimut lagi. Baca-baca ayat kursi
sebanyak-banyaknya sampe ketiduran lagi.
Paginya, kami kebangun karena ada
AC yang nyala sendiri. Padahal jelas-jelas remote nya ada di tempatnya nempel
di tembok.
Dobel whaaaaa…..!!!!!
Warisan dari Masa Kolonial yang (Tak lagi) Feodal
Berbicara tentang pabrik gula
tentu tidak bisa terlepas dari tahun-tahun akhir PD I dimana banyak Negara
peserta perang yang mengalami kebangkrutan. Untuk mengatasinya, Negara-negara
peserta perang itu melakukan pengerukan sebesar-besarnya pada tanah jajahan
mereka masing-masing. Tidak terkecuali Belanda. Negara ini kemudian membangun
pabrik gula di hindia belanda untuk mengolah hasil perkebunan tebu. Tentu hasil
penjualan ekspor gula jauh lebih menguntungkan daripada apabila di ekspor dalam
bentuk tebu. Selama masa kolonial belanda, para tuan tanah ini menjelma menjadi
raja kecil dengan kekuasaan penuh terhadap wilayah yang mereka kuasai. Raja
kecil yang berkuasa ini mulai sewenang-wenang terhadap para petani tebu dan
buruh penggarap tebu. Feodalisme berkembang pesat. Siapa yang menjadi pucuk
pimpinan di pabrik gula maka dialah raja yang semua keinginannya wajib
terpenuhi. Coba deh baca buku Max Havelaar-nya Multatuli atau ada juga
narasinya di Anak Semua Bangsa punya Eyang Pram.
Memasuki awal masa kemerdekaan,
banyak pabrik gula baik milik pemerintah kolonial maupun milik swasta yang
akhirnya dinasionalisasi. Namun, budaya warisan dari jaman penjajahan masih
tetap bertahan hingga kini. Memang tidak mudah mengubah sebuah budaya.
Dalam istilah hierarki jabatan di
pabrik gula misalnya. Istilah-istilah yang dipakai masih istilah warisan kolonial. Administratur (Adm) untuk kepala PG, CA untuk kepala tanaman dan lain sebagainya. Namun, seiring dengan modernisasi yang dilakukan, budaya kerja yang dibangun sudah bukan lagi seperti budaya kerja masa kolonial. Anggapan bahwa Adm adalah raja yang semua permintaannya harus dituruti sudah tidak berlaku disini. Adm bertugas sama seperti General Manajer atau Kepala Kantor Cabang di perusahaan lain.
Meski begitu, saya pribadi berharap sebaiknya istilah-istilah penyebutan tersebut tidak perlu diganti. Karena hal itu yang menjadikan PGberbeda dan tentu saja, istimewa.
siiiipp ... orang asli PG blm tentu bisa bikin diskripsi seperti ini, jempol ...
ReplyDeletewaduh saya masih belajaran banget kok pak, hehe.
Deleteterima kasih sudah bersedia mampir dan meninggalkan komentar :)